PURNAYUDHA.COM, GARUT-Di di kantor Dewan kebudayaan jln ahmad Ahmad, Ketua Dewan Kebudayaan Kabupaten Garut, H. Irwan Hendarsyah menyayangkan munculnya Surat Edaran Penjabat (Pj) Bupati Garut, Barnas Adjidin Nomor 800.1.12.5/2583/Org., tertanggal 2 Juli 2024 mengenai Penggunaan Seragam Pakaian Dinas di Lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut. Pasalnya, SE tersebut disinyalir melanggar regulasi yang ada dan meniadakan kebiasaan. Senin (8/7/2024)
“Ada dua regulasi yang disinyalir ditabrak Surat Edaran tersebut, pertama, Perbup Garut No. 135 tahun 2021 Tentang Pakaian Dinas di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Garut dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan,” ungkap Ketua Dewan Kebudayaan Kabupaten Garut,
Selain itu, lanjut pria yang akrab dipanggil Kang Jiwan menilai SE tersebut menghilangkan salah satu kebiasaan (budaya) yaitu dengan adanya Kamis Nyunda dimana semua ASN memakai pakaian adat Sunda, tentunya ini menjadi satu bukti adanya kecenderungan untuk memporak porandakan kebiasaan berkebudayaan melalui pakaian Sunda.
“Bukannya ikut mengembangkan pelestarian kebudayaan sesuai amanat UU No. 5/2017 tentang pemajuan kebudayaan, ini malah terkesan akan mengikis budaya Sunda melalui hilangnya Kemis nyunda di kabupaten Garut,” tandasnya.
Kamis Nyunda untuk ASN, lanjut Kang Jiwan, itu merupakan pelaksanaan dari amanat Perbup No. 135 tahun 2021 Tentang Pakaian Dinas di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Garut. ” Masa iya Perbup bisa dikalahkan dengan Surat Edaran,” tandasnya.
Kang Jiwan menerangkan, Perbup No. 135 tahun 2021 Tentang Pakaian Dinas di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Garut secara terang benderang menjelaskan di pasal 3 huruf a poin 4 PDH pakaian khas Sunda yang dijelaskan pada pasal 9 bahwa pdh pakaian khas sunda (1) PDH pakaian khas Sunda pria, dengan ketentuan: 1. atasan lengan panjang warna gelap hitam; 2. celana panjang warna hitam; 3. atribut yaitu tanda pengenal; dan 4. kelengkapan terdiri dari ikat kepala khas Sunda dengan memakai sandal tertumpah khas sunda. (2) PDH pakaian khas Sunda wanita, dengan ketentuan: 1. kebaya khas Sunda warna menyesuaikan; 2. sinjang batik garutan warna menyesuaikan; 3. kerudung warna menyesuaikan (untuk wanita muslim berjilbab); 4. atribut yaitu tanda pengenal; dan 5. kelengkapan sandal/slop dengan tinggi hak ± 5 (lima) cm. (2) Ketentuan model, atribut dan kelengkapan PDH baju khas Sunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I Peraturan Bupati yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini. (3) Ketentuan model pakaian PDH baju khas Sunda wanita hamil menyesuaikan, dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
“Sementara di surat edaran berganti menjadi pakaian kasual dengan atribut lengkap dari kulit sepeti name tag, sabuk, pin, rompi, sepatu topi yang jelas jelas ini bukan pakaian sunda,” tandasnya.
Menurutnya, jika surat edaran ini dilaksanakan dengan menghilangkan Kemis Nyunda dengan pakaian yang tercantum di Perbup 135/2021, selain bertentangan tentunya menjadi ciri kemunduran dalam berkebudayaan. jadi tolonglah, pak Pj. Bupati jagan mengobrak-abrik budaya dan kebiasaan orang Sunda, karena kami bangga dengan Sunda karena kami tinggal di Sunda,” katanya.
Hemat Kang Jiwan, Surat Edaran itu bukan harus dipertimbangkan tapi harus ditarik karena bertentangan dengan regulasi sebelumnya dan kebiasaan yang sudah terbangun di Kabupaten Garut. “Jangan sampai keberadaan Pj. Bupati Garut bukannya ikut memajukan kebudayaan namun malah ikut mendorong kemunduran kebudayaan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menurut kami itu sangat nyeleneh,” pungkasnya.***tim***